Sabtu, 29 Mei 2010

SINTUWU MAROSO DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI POSO

Sintuwu Maroso berasal dari dua suku kata, yaitu sintuwu yang berarti persekutuan, persatuan, kesederhanaan dan kata Maroso yang berarti kuat. Jadi bila digabungkan,Sintuwu Maroso dapat diartikan sebagai suatu persekutuan hidup yang kuat, dimana kehidupan masyarakatnya diwarnai oleh harmoni dan toleransi. Selain itu, Sintuwu Maroso juga seringkali diartikan sebagai kerjasama atau gotong royong yang kuat.
Sintuwu Maroso adalah semboyan yang sudah menjadi falsafah hidup to Poso ( orang poso). Sintuwu Maroso adalah pengejawantahan (perwujudan) impian masyarakat Pamona-Poso. Sesuatu hal yang menjadi impian seluruh masyarakat Pamona-Poso.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa, Sintuwu Maroso adalah sesuatu hal yang menjadi impian dan harapan masyarakat Pamona-Poso, harapan inilah yang disebut Visi. Tentunya untuk mengimplementasikan Visi tersebut tidaklah semudah mengedipkan mata, tetapi diperlukan dukungan moral dan materil untuk mencapainya.
Karenanya harus ada upaya dari seluruh komponen masyarakat untuk membuat cara-cara untuk mencapai impian tersebut. Impian ini sudah lama dikumandangkan oleh generasi pendahulu atau para leluhur (tau tu’ata), kita semua generasi penerus mempunyai tanggungjawab moral untuk melanjutkan pencapaian visi tersebut. Salah satu caranya adalah melalui penetapan misi yang berisi langkah-langkah kongkrit para pemimpin masarakat dalam hal ini pemerintah untuk membawa visi “SINTUWU MAROSO” berakar kuat di dada setiap insan masyarakat poso.
Semboyan “Sintuwu Maroso” dalam penyelenggaraan pemerintahan di poso sangatlah penting, karena dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip kesederhanaan, persatuan dan gotong royong yang kuat yang terkandung di dalamnya dapat membantu menciptakan suatu pemerintahan yang baik. Pemerintahan yang selalu menciptakan persatuan bagi rakyatnya.


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kearifan lokal seringkali diartikan sebagai kebijakan setempat, pengetahuan setempat atau kecerdasan setempat. Kearifan local adalah sikap, pandangan atau kemampuan suatu komunitas didalam mengelola lingkungan jasmani dan rohaninya. Dengan kata lain kearifan local adalah pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang dilakukan oleh masyarakat local dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu dan mencerminkan cara hidup masyarakat tertentu. Oleh karena itu, penyebarluasan praktek-praktek kearifan lokal tertentu seringkali menjadi tantangan. Prinsip-prinsip kearifan lokal dapat diterapkan di daerah lain, tentu saja dengan penyesuaian budaya setempat. Penerapan kearifan lokal merupakan sebuah proses dan menbutuhkan keterlibatan dari seluruh lapisan masyarakat.
Kearifan lokal dapat dijadikan sebagai jembatan penghubung antara masa lalu dan masa sekarang, generasi nenek moyang dan generasi sekarang demi menyiapkan masa depan dan generasi mendatang.
Dalam makalah ini, penulis coba mengangkat model kearifan lokal yang ada di Poso yang dikenal dengan semboyan SINTUWU MAROSO. Seperti yang telah di jelaskan dalam abstraksi terdahulu, makna filosofis yang terkandung dalam semboyan ‘Sintuwu Maroso’ dalam bahasa Pamona secara sederhana berarti persatuan, kerjasama yang kokoh dalam rambu saling menghormati dan menghargai mencerminkan keterbukaan, keramahan, bahu membahu dan tolong menolong yang dinyatakan dengan sikap toleransi yang tinggi kepada siapapun termasuk kepada orang yang berbeda suku maupun agama sekalipun.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk menulis makalah yang berjudul SINTUWU MAROSO DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI POSO.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana model kearifan lokal di poso?
2. Bagaimana penerapan model kearifan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan di poso ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui model kearifan lokal di poso
2. Untuk mengetahui penerapan model kearifan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan di poso
















BAB II
PEMBAHASAN
A. Model Kearifan Lokal di Poso
Poso, daerahnya terbentuk oleh model masyarakat yang plural, multi suku dan bermacam agama. Poso berkembang sebagai masyarakat yang plural, baik etnis maupun agama. Ikatan kekerabatan yang juga muncul sebagai akibat persentuhan tradisi, semboyan SINTUWU MAROSO, bukanlah jargon yang dibuat hanya untuk kepentingan tertentu, namun semboyan itu telah terbentuk sepanjang sejarah poso.
Model kearifan lokal di poso yang dikenal dengan semboyan SINTUWU MAROSO telah mendarah daging dalam kehidupan masyrakat Poso. Karena falsafah ini sudah mendarah daging secara turun temurun, penerapannya dalam kehidupan bermasyarakat di poso tertuang dalam bentuk sikap mengalah di setiap sendi kehidupan bermasyarakat orang Poso. Sikap mengalah ini dapat kita lihat dari sikap penduduk asli poso yang sama sekali tidak merasa keberatan dengan datangnya para pendatang di daerah mereka. Mereka menerima warga pendatang dengan sikap yang terbuka. Begitupun ketika warga pendatang memperluas daerah pertanian, tidak ada protes dari penduduk asli walaupun tidak jarang perluasan daerah pertanian itu merugikan warga asli.
Penduduk asli tidak pernah menganggap poso hanyalah tanah milik mereka. Ini terlihat dari upacara adat penyambutan tamu di poso yang dikenal dengan sebutan PEKASIWIA. Motivasi di balik upacara Pekasiwia adalah sebagai bentuk penghormatan kepada tamu-tamu yang datang ke daerah Poso, yang didasarkan pada filosofi bahwa tamu adalah sanak keluarga penting yang perlu dihormati dan dihargai. Dengan kata lain, jika Anda disambut dengan Pekasiwia ketika berkunjung ke wilayah yang juga dikenal dengan sebutan Tanah Poso, berarti Anda sudah diterima baik oleh pihak masyarakat adat Poso, termasuk pemerintah dan seluruh masyarakatnya. Anda dihormati dan dihargai oleh seluruh elemen masyarakat Poso.
Bahan baku dari Pekasiwia tersebut berasal dari makanan dan minuman tradisional masyarakat Poso dan melambangkan kemakmuran serta kesejahteraan mereka. Arti dan makna warna-warna dari simbol-simbol tersebut adalah, putih mengartikan rakyat dan pemerintah Poso menerimah tamu dengan tulus dan hati yang suci. Kuning melambangkan keagungan, dimana rakyat Poso dan pemerintah menyambut tamu dengan penuh hormat. Rasa manis melambangkan keakraban, dimana rakyat dan pemerintah Poso menyambut tamu dengan penuh rasa kekeluargaan. Angka tujuh sebagai angka keramat bagi masyarakat Poso melambangkan kesempurnaan dengan harapan Tuhan Yang Maha Esa meridhoi dan menyempurnakan pertemuan pertama tersebut dan seterusnya.
Satu hal yang perlu diingat , bahwa orang Pamona-Poso sangat menerima siapa saja dan tidak mudah menyimpan dendam, hal tersebut sangat tercermin pada seni budaya Poso yang lestari sampai sekarang dan semua orang pasti kenal yang dinamakan tarian "dero" (tarian saling berpegang tangan membentuk lingkaran diiringi lagu berbalas pantun, bergerak ke kanan berirama dengan satu langkah mundur kemudian dua langkah ke kanan dan seterusnya). Dalam tarian dero terkandung makna persahabatan, keakraban, rasa humor, dan rasa persaudaraan yang dalam. Sentimentalisme dalam syair-syair lagu Pamona-Poso menggambarkan temperamen orang Pamona-Poso yang melankolis jauh dari kesan beringas.
SINTUWU MAROSO adalah sebuah filosofi kemajemukan yang dianut oleh para pendiri Poso yang dijadikan model kearifan lokal masyarakat setempat. Sebuah semangat kehidupan yang kini semakin tertinggal oleh kemajuan zaman. Olehnya merawat semangat Sintuwu Maroso agar tetap terlestarikan adalah sebuah tanggungjawab bersama. Nilai-nilai itu juga harus tercerminkan dalam perilaku keseharian masyarakat Poso. Selain itu, rakyat Poso mempunyai juga kewajiban sejarah untuk menjaga semangat Sintiwu Maroso agar senantiasa terpatri dalam benak sanubari generasi hari ini maupun nanti.










B. Penerapan Model Kearifan Lokal dalam Penyehlenggaraan Pemerintahan di Poso
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa Poso adalah wilayah yang didiami oleh beragam suku atau dengn kata lain, Poso adalah sebuah wilayah majemuk. Sebagaimana sebuah wilayah majemuk,adanya pemetaan wilayah berdasar agama dan suku sudah menjadi hal yang wajar. Di kecamatan Poso Kota misalnya, nama kampung didasari pada suku yang dominan mendiami wilayah tertentu. Ada kampung Gorontalo, Kampung Bugis, Kampung Arab, Kampung Minahasa yang menunjukan sebuah komunitas etnis tertentu.
Pemetaan berdasar suku dan etnis tersebut kemudian diperkuat lagi oleh keberagamaan masyarakatnya. Artinya, Kampung Bugis, Kampung Gorontalo, Arab misalnya penduduknya dominan beragama Islam, sementara Kampung Minahasa dan semacamnya, lebih merujuk pada agama Kristen. Tetapi hal tersebut tidaklah menjad masalah, karena masyarakat poso telah menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam semboyan Sintuwu Maroso.
Berbicara tentang Poso dan Sintuwu Maroso tentu tidak dapat dipisahkan dengan konflik yang terjadi di poso. Dalam penyelesaian konflik Poso, pemerintah selalu berusaha untuk menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam semboyan Sintuwu Maroso agar masyarakat sadar dan memahami bahwa masyarakat poso adalah masyarakat yang selalu bersatu.
Sintuwu Maroso dalam penyelenggaraan pemerintahan di poso sangatlah penting karena mengingat makna filosofi yang terkandung dalam semboyan itu yang berarti persatuan, kerjasama atau gotong royong yang kuat, apabila diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di poso akan mewujudkan pemerintahan yang selalu berorientasi pada persatuan dan kesatuan.
Sintuwu Maroso jika dikaitkan dengan penyelenggaraan pemerintahan di Poso, memiliki peran penting dalam menyatukan pemahaman masyarakat kabupeten poso yang masih menggunakan sistem pemerintahan yang masih kental bersifat kekeluargaan. Semua sistem yang diselenggarakan di kabupaten Poso masih dipengaruhi oleh kekeluargaan yang masih sangat kental.
Sintuwu Maroso jika dikaitkan dengan kebudayaan lokal memiliki hubungan yang saling keterkaitan dimana budaya yang palin kental diposo itu merupakan implementasi dari persatuan yang kuat. Dalam perkembangan zaman dan pengaruh globalisasi yang semakin luas mempengaruhi budaya sehingga kebudayaan yang sudah ada selalu berubah tetapi tetap mempertahankan unsur-unsur aslinya karna hal tersebut merupakan kultur budaya setempat yang sudah sejak lama di pertahankan, olehnya dalam penerapannya harus selalu berubah dalam segi variasi agar tetap menjadi minat oleh generasi berikutnya,
Salah satu upaya pemerintah dalam mempertahanklan kultur ini adalah menjadikan dero sebagai bagian dalam setiap acara yang di lakukan di daerah setempat. Hal yang paling dinanti dalam setiap keramaian adalah acara dero tersebut, ini dikarenakan bahwa keakraban lebih cepat terjalin dalam acara ini. Saat mereka terlarut dalam gerakan maka kegembiraanpun mulai nampak di wajah mereka bahkan tidak jarang acara tersebut dijadikan sebagai momentum untuk berkenalan antara pria dan wanita.
Dalam penarapan model dero selalu berfariasi tergantung bagaimana keinginan peserta dero saat itu. Fariasi ini terkadang melalui perlombaan yang di laksanakan di daerah setempat. Hal ini juga merupakan bagian dari upaya mempertahankann dero di daerah tersebut. Bahkan hadiah yang di tawarkan untuk pemenang juara dero kreasi terkadang sangat besar, sehingga sangat menarik minat oleh para penggemarnya karena disamping unik hadiahnyapun tidak tanggung-tanggung.








BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa makna filosofi Sintuwu Maroso adalah persatuan, kerjasama, atau gotong royong yang kuat atau kokoh. Sintuwu Maroso adalah model kearifan lokal yang ada di wilayah Poso.
Dalam kaitannya dengan pemerintahan, dapat dilihat dari penyelesaian konflik yang diterapkan oleh pemerintah setempat yang menggunakan nilai-nilai yang terkandung dalam semboyan Sintuwu Maroso tersebut, hal ini dilakukan agar masyarakat sadar dan dapat memahami bahwa makna yang terkandung dalam semboyan tersebut merupakan cita-cita luhur dari seluruh masyarakat poso.
Sintuwu Maroso dalam penyelenggaraan pemerintahan di poso sangatlah penting karena mengingat makna filosofi yang terkandung dalam semboyan itu yang berarti persatuan, kerjasama atau gotong royong yang kuat, apabila diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di poso akan mewujudkan pemerintahan yang selalu berorientasi pada persatuan dan kesatuan.

Rabu, 19 Mei 2010

SINTUWU MAROSO DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI POSO

Sintuwu Maroso berasal dari dua suku kata, yaitu sintuwu yang berarti persekutuan, persatuan, kesederhanaan dan kata Maroso yang berarti kuat. Jadi bila digabungkan,Sintuwu Maroso dapat diartikan sebagai suatu persekutuan hidup yang kuat, dimana kehidupan masyarakatnya diwarnai oleh harmoni dan toleransi. Selain itu, Sintuwu Maroso juga seringkali diartikan sebagai kerjasama atau gotong royong yang kuat.
Sintuwu Maroso adalah semboyan yang sudah menjadi falsafah hidup to Poso ( orang poso). Sintuwu Maroso adalah pengejawantahan (perwujudan) impian masyarakat Pamona-Poso. Sesuatu hal yang menjadi impian seluruh masyarakat Pamona-Poso.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa, Sintuwu Maroso adalah sesuatu hal yang menjadi impian dan harapan masyarakat Pamona-Poso, harapan inilah yang disebut Visi. Tentunya untuk mengimplementasikan Visi tersebut tidaklah semudah mengedipkan mata, tetapi diperlukan dukungan moral dan materil untuk mencapainya.
Karenanya harus ada upaya dari seluruh komponen masyarakat untuk membuat cara-cara untuk mencapai impian tersebut. Impian ini sudah lama dikumandangka oleh generasi pendahulu atau para leluhur (tau tu’ata), kita semua generasi penerus mempunyai tanggungjawab moral untuk melanjutkan pencapaian visi tersebut. Salah satu caranya adalah melalui penetapan misi yang berisi langkah-langkah kongkrit para pemimpin masarakat dalam hal ini pemerintah untuk membawa visi “SINTUWU MAROSO” berakar kuat di dada setiap insan masyarakat poso.
Semboyan “Sintuwu Maroso” dalam penyelenggaraan pemerintahan di poso sangatlah penting, karena dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip kesederhanaan, persatuan dan gotong royong yang kuat yang terkandung di dalamnya dapat membantu menciptakan suatu pemerintahan yang baik. Pemerintahan yang selalu menciptakan persatuan bagi rakyatnya.

Selasa, 20 April 2010

PERBANDINGAN GAYA KEPEMIMPINAN ORDE BARU DAN REFORMASI

Tugas Kepemimpinan Pemerintahan

PERBANDINGAN GAYA KEPEMIMPINAN

ORDE BARU DAN REFORMASI

UNTAD.jpg

DISUSUN OLEH

DWI EYNDAH A

B 401 07 022

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS TADULAKO

2010

KATA PENGANTAR

Assalamualikum Wr.Wb

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmatNyalah sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah menyumbangkan segenap pikiran demi terselesaikannya makalah ini.

Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Kepemimpinan Pemerintahan. Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu penulis angat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk para pembaca pada umumnya dan untuk penulis sendiri pada khususnya.

Billahitaufik wal Hidayah

Wassalamualaikum Wr. Wb

Palu, 05 April 2010

Penulis

Daftar Isi

Kata Pengantar ......................................................................................

Daftar isi ......................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1

A. Latar Belakang ......................................................................................1

B. Rumusan Masalah ......................................................................................2

C. Tujuan Penulisan ......................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................

A. Gaya Kepemimpinan Orde Baru ..........................................................................3

B. Gaya Kepemimpinan Reformasi ..........................................................................4

C. Perbandingan Gaya

Kepemimpinan Orde Baru

Dan Reformasi .........................................................................6

BAB III PENUTUP ......................................................................................

A. Kesimpulan ......................................................................................8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah yang luas dengan sumberdaya alam yang dinilai cukup melimpah, dan juga memiliki masyarakat yang multikultural baik suku maupun agama. Dalam menjalankan tata pemerintahan yang baik, suatu negara atau pemerintah idealnya dipimpin oleh seorang pemimpin negara yang baik, setidaknya sebagian besar unsur dalam kepemimpinan yang ideal dimiliki oleh seorang pemimpin bangsa indonesia.

Menilai kualitas suatu kepemimpinan nasional tentu memerlukan beberapa tolok
ukur tersendiri. Karena, kepemimpinan
nasional tentu berbeda dengan kepemimpinan di tingkat RT, RW, sampai ditingkat daerah sekalipun.

Stiap rezim pasti memiliki sebuah gaya kepemimpinan untuk mensukseskan jalannya pemerintahan; otoriter, ataupun demokratis. Begitu pula seorang presiden, gaya kepemimpinan itu melekat pada diri seseorang yang dibentuk dari proses panjang berdasarkan lingkungan tempat ia lahir dan dibesarkan, latar belakang keluarga, pendidikan, lingkungan teman, lingkungan kerja, nilai-nilai yang diemban, serta pengaruh-pengaruh lainnya. Seperti yang telah dijelaskan tadi bahwa gaya kepemimpinan seseorang dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, teman, dan lingkungan kerja yang kemudian menghasilkan nilai-nilai yang dibawa oleh orang tersebut dalam melakukan suatu kepemimipinan.

Gaya kepemimpinan ini penting karena ia akan menentukan corak Pemerintahan, ritme jalannya penyelenggaraan negara, besar pengaruhnya dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan atau program yang telah ditetapkan. Gaya kepemimpiann seseorang juga berpengaruh dalam hubungan dengan lingkungan terdekat, misalnya dalam kaitan hubungan antara presiden dan wakil presiden, serta hubungannya dengan para menteri, bahkan sampai dengan pihak-pihak di luar negeri.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Gaya Kepemimpinan Rezim Orde Baru ?

2. Bagaimana Gaya Kepemimpinan Era Reformasi ?

3. Bagaimana Perbandingan Gaya Kepemimpinan Orde Baru dan Reformasi ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Gaya Kepemimpinan Rezim Orde Baru

2. Untuk mengetahui Gaya Kepemimpinan Era Reformasi

3. Untuk mengetahui Perbandingan Gaya Kepemimpinan Orde Baru dan Reformasi

BAB II

PEMBAHASAN

A. Gaya Kepemimpinan Rezim Orde Baru

Ketika berbicara tentang gaya kepemimpinan Rezim Orde Baru atau yang biasa dikenal dengan Orba memang identik dengan dengan gaya kepemimpinan Soeharto yang cenderung Otoriter/militeristik, ini dikarenakan Rezim Orde Baru yang berkuasa selama tiga puluh dua tahun memang dipimpin oleh Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan tunggal pada saat itu. Soeharto memiliki latar belakang militer dalam karir politiknya. Sehingga ketika ia menjadi presiden, ia tidak dapat melepaskan diri dari gaya-gaya kepemimpina ala militer.

Siapa yang tak kenal dengan mantan Presiden Soeharto, penguasa Indonesia selama 32 tahun ini, terkenal dengan gaya kepemimpina yang otoriter , militeristik, ambisius namun murah senyum sekaligus. Pada tahun 1998 desakan dari berbagai kalangan-utamanya mahasiswa-telah mampu memaksa Soeharto untuk lengser keprabon. Tapi kenyataannya bahwa peralihan legal formal tidak dengan sendirinya mengalihkan seluruh sumber daya kekuasaan. Rezim yang dikenal dengan sebutan Orde Baru ini, telah merasuk ke seluruh sumsum masyarakat. Kekejaman yang menebar ketakutan hingga tak ada yang berani membantahnya. Kekuasaan Soeharto kala itu mutlak disegala lini. Militer menjadi anak emas yang memagari kekuasaannya. Pers lebih banyak menjadi corong pemerintah, sehingga praktis masyarakat pun buta politik. Masyarakat tak mampu mencerna kebohongan – kebohongan yang dilakukan Soeharto. Karena selalu saja tertutupi oleh tindak – tanduk Soeharto yang kalem, bersahaja dan nampak sederhana. Kroni – kroni orde baru, telah berhasil menyebarkan virus SARS ( Sangat Amat rindu Soeharto) menjelang pemilu 2004 lalu.

Di awal kepemimpinannya, ketika situasi dalam negeri sedikit-banyak mengalami kekacauan akibat intrik-intrik politik dari berbagai kelompok kepentingan, misalkan Partai Komunis Indonesia, bisa jadi kepemimpinan model militer adalah yang tepat. Situasi yang darurat, anomali sosial begitu banyak, maka situasi semcam itu perlu distabilkan agar tidak berdampak lebih buruk. Dapat kita lihat bahwa fungsi militer pada masa Orde Baru adalah sebagai stabilisator juga dinamisator. Dengan dua fungsi itu, militer atau tepatnya ABRI dengan dwifungsinya ikut terlibat dalam penyusunan kebijakan-kebijakan politik Orde Baru.

Sayangnya, model kepemimpinan ala militer itu tetap Soeharto pakai hingga era 1970-1980an. Padahal kondisi masyarakat saat itu sedikit-banyak sudah berubah. Masyarakat semakin cerdas dan semakin paham tentang hakikat negara demokratis. Dengan sendirinya model kepemimpinan Soeharto tertolak oleh kultur atau masyarakat. Untuk tetap mempertahkan kekuasaanya Soeharto menggunakan cara-cara represif pada semua pihak yang melawannya.

Setelah membaca penjelasan diatas, tentu dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan Rezim Orde Baru ( Soaharto ) adalah Otoriter/militeristik.

B. Gaya Kepemimpinan Era Reformasi

Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY adalah presiden yang memimpin bangsa ini di Era Reformasi. Mereka mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda satu sama lain.

B J Habibie menjadi presiden bukan karena keinginannya. Hanya karena kondisi sehingga ia jadi presiden. Orang yang cerdas tapi terlalu lugu dalam politik. Karena ingin terlihat bagus, ia membuat blunder dalam masalah timor timur. Sebenarnya gaya kepemimpinan Presiden Habibie adalah gaya kepemimpinan Dedikatif-Fasilitatif, merupakan sendi kepemimpinan Demokratik. Pada masa pemerintahan B.J Habibie ini, kebebasan pers dibuka lebar-lebar sehingga melahirkan demokratisasi yang lebih besar. Pada saat itu pula peraturan-peraturan perundang-undangan banyak dibuat.

Gus Dur adalah Seorang kiai yang sangat liberal dalam pemikirannya, penuh dengan ide, sangat tidak disiplin dan berkepemimpinan ala LSM. Gaya kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid adalah gaya kepemimpinan Responsif-Akomodatif, yang berusaha untuk mengagregasikan semua kepentingan yang beraneka ragam yang diharapkan dapat dijadikan menjadi satu kesepakatan atau keputusan yang memihki keabsahan. Pelaksanaan dan keputusan-keputusan yang telah ditetapkan diharapkan mampu menggerakkan partisipasi aktif para pelaksana di lapangan, karena merasa ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan atau kebijaksanaan.

Gaya kepemimpinan Megawati yang anti kekerasan itu tepat sekali untuk menghadapi situasi bangsa yang sedang memanas Megawati lebih menonjolkan kepemimpinan dalam budaya ketimuran. Ia cukup lama dalam menimbang-­nimbang sesuatu keputusan yang akan diambilnya. Tetapi begitu keputusan itu diambil, tidak akan berubah lagi. Gaya kepemimpinan seperti bukanlah suatu ke1emahan. Seperti dikatakan oleh Frans Seda: "Dia punya intuisi tajam. Sering kita berpikir, secara logika, menganalisa fakta-fakta, menyodorkan bukti-bukti, tapi tetap saja belum pas. Di saat itulah Mega bertindak berdasarkan intuisinya, yang oleh orang-orang lain tidak terpikirkan sebelumnya. Cukup demokratis, tapi pribadi Megawati dinilai tertutup dan cepat emosional. Ia alergi pada kritik.

SBY sebagai pemimpin yang mampu mengambil keputusan kapanpun, di manapun, dan dalam kondisi apapun. Sangat jauh dari anggapan sementara kalangan yang menyebut SBY sebagai figur peragu, lambat, dan tidak "decisive" (tegas). Sosok yang demokratis, menghargai perbedaan pendapat, tetapi selalu defensif terhadap kritik. Hanya sayang, konsistensi Yudhoyono dinilai buruk. Ia dipandang sering berubah-ubah dan membingungkan publik.

Setelah Rezim Orde Baru lengser pada tahun 1998, Indonesia memasuki suatu era baru yaitu Era Reformasi. Suatu masa yang diharapkan dapat memberikan kehidupan yang lebih baik bagi rakyat indonesia.

Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY yang merupakan presiden dan mantan presiden di Era Reformasi memang mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda satu sama lain, tetapi secara garis besar ketiganya tetap cenderung ke gaya kepemimpinan yang demokratis jika di lihat dari ciri-ciri kepemimpinan demokratis. Ciri-ciri gaya kepemimpinan yang demokratis menurt Mar’ie Muhammad adalah :

1. Pemimpin yang demokratik biasanya memandang peranannya selaku koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi

2. Menyadari bahwa mau tidak mau organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga menggambarkan secara jelas aneka ragam tugas dan kegiatan yang tidak bisa tidak harus dilakukan demi tercapainya tujuan

3. Melihat kecenderungan adanya pembagian peranan sesuai dengan tingkatnya

4. Memperlakukan manusia dengan cara yang manusiawi dan menunjang harkat dan martabat manusia.

5. Seorang pemimpin demokratik disegani bukannya ditakuti.

Dari ciri-ciri diatas sangat jelas terlihat perbedaan antara gaya kepemimpinan otoriter ala Soeharto dan gaya kepemimpinan Demokratis di Era Reformasi. Perbedaan yang sangat sederhana dapat dilihat dari kebebasan yang diberikan kepada masyarakat untuk mengkritik jalannya pemerintahan, satu hal yang sangat mustahil dilakukan pada masa Orde Baru.

C. Perbandingan Gaya Kepemimpinan Orde Baru dan Reformasi

Untuk membandingkan gaya kepemimpinan pada masa Orde Baru dan Reformasi, dapat dilakukan dengan membandingkan ciri-ciri dari kedua gaya kepemimpinan tersebut.

Pada masa Orde baru, gaya kepemimpinannya adalah Otoriter/militeristik. Seorang pemimpinan yang otoriter akan menunjukan sikap yang menonjolkan “keakuannya”, antara lain dengan ciri-ciri :

  1. Kecendurangan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan maratabat mereka.
  2. Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
  3. Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.

Gaya Kepemimpinan yang dipergunakan pemimpin yang otokratik antara lain:

  1. Menuntut ketaatan penuh dari para bawahannya
  2. Dalam menegakkan disiplin menunjukkan keakuannya
  3. Bernada keras dalam pemberian perintah atau intruksi
  4. Menggunakan pendekatan punitif dalam hal terjadinya penyimpangan oleh bawahan

Sedangkan gaya kepemimpinan demokratik yang ada di Era Reformasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Pemimpin yang demokratik biasanya memandang peranannya selaku koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi

2. Menyadari bahwa mau tidak mau organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga menggambarkan secara jelas aneka ragam tugas dan kegiatan yang tidak bisa tidak harus dilakukan demi tercapainya tujuan

3. Melihat kecenderungan adanya pembagian peranan sesuai dengan tingkatnya

4. Memperlakukan manusia dengan cara yang manusiawi dan menunjang harkat dan martabat manusia.

5. Seorang pemimpin demokratik disegani bukannya ditakuti.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pada masa Orde Baru gaya kepimimpinannya adalah otoriter, sedangkan pada masa Reformasi gaya kepemimpinannya adalah cenderung demoratik.

Perbedaan keduaya dapat dilihat dari ciri-ciri keduanya, yaitu sebagai berikut:

Gaya Kepemimpinan :

1. Kecendurangan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan maratabat mereka.

2. Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.

3. Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.

Sedangkan gaya kepemimpinan demokratik yang ada di Era Reformasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Pemimpin yang demokratik biasanya memandang peranannya selaku koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi

2. Menyadari bahwa mau tidak mau organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga menggambarkan secara jelas aneka ragam tugas dan kegiatan yang tidak bisa tidak harus dilakukan demi tercapainya tujuan

3. Melihat kecenderungan adanya pembagian peranan sesuai dengan tingkatnya

4. Memperlakukan manusia dengan cara yang manusiawi dan menunjang harkat dan martabat manusia.

5. Seorang pemimpin demokratik disegani bukannya ditakuti.